Jumat, 27 Oktober 2017

Cerita Pendek

Tak Saling Mengerti


Namaku Lula, aku memiliki dua orang sahabat, yaitu Vita dan Nana. Rumah kami berdekatan, hal itu yang menjadikan kami bertiga begitu akrab dalam berbagai hal mulai dari cerita hingga pengalaman. 

Suatu hari Vita dan Nana bertengkar, dan aku pun terkena imbasnya. Padahal aku sama sekali tak mengerti penyebab pertengkaran kedua sahabatku itu. Tiap kali aku bertanya apa titik permasalahannya,  mereka hanya akan kompak menjawab dengan jawaban “Kau tidak perlu tahu La. Jauhi saja orang itu!” Ya... jawaban yang sama, sama persis malah. 

Jawaban tersebut membuatku bertanya pada diriku sendiri, bukankah kita bertiga sabahat? Lalu mungkinkah aku akan membiarkan persahabatan ini hancur begitu saja? Tidak... tentu saja tidak. Aku tidak boleh membiarkan persahabatan kami hancur. Aku harus menghilangkan pertanyaan itu dari otak ku dan mulai berfikir untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. 

Esoknya, aku sengaja mendekati Vita dan mengajaknya bicara berdua. Ku lirik Nana yang memelototi kami dari kejauhan saat kami berjalan menuju kantin sekolah. Ku rasa dia berpikir bahwa aku lebih memilih Vita, tapi ku acuhkan saja. Aku memilih fokus pada tujuan pertamaku.

“Vita, sebenarnya kamu kenapa sama Nana? Cerita dong, kan kita sahabatan...” kataku.

“Sudahlah La, Kau tidak ....”

“Aku perlu tahu!” ku potong jawaban Vita yang membuat telingaku terasa panas mendengarnya. Aku sudah bosan dengan jawaban tak pasti itu.

“Vita, kita ini sahabat, kalau ada masalah kita selesaikan bareng-bareng, bukan malah musuhan seperti ini Vit,” ucapku dengan mantap.

Vita yang tadinya enggan untuk menjawab, akhirnya dia berkata “Tanyakan saja pada Nana! Dia yang memulai dengan mengucapkan kata-kata hina itu.” Vita lalu pergi. Aku kurang puas dengan jawaban Vita, karena jawabannya tidak mewakili jawaban yang aku inginkan. Namun setidaknya aku mendapatkan sedikit petunjuk. 

Jam istirahat kedua aku manfaatkan untuk mendekati Nana, namun dia berusaha menghindar dariku. Dia terus menolak untuk ku ajak bicara. Hingga jam pulang sekolah, kelas sepi dan hanya menyisakan kami berdua, dia baru mau mulai bicara. Kami duduk berhadapan, dan Nana memulai percakapan antara kami berdua.

“La, apa kau lebih memilih Vita daripada aku?” tanyannya padaku. Tanpa diberi waktu untuk menjawab, dia melanjutkan “Aku sebenarnya memiliki niat baik La. Kumohon bantu aku untuk merubah sikap Vita yang menjengkelkan itu La.”

“Niat baik? Niat baik yang seperti apa sampai kamu menghinanya? Jelaskan padaku Na!” jawabku kesal.

“La, jadi kau tidak sadar? Vita tidak mengikuti kompetisi piano dan menolak saran ibunya untuk kursus piano.”

“Lalu kenapa?” jawabku.

Nana menggertakkan giginya, mungkin dia kesal karena aku tak bisa memahami maksudnya. Akhirnya dia bicara dengan nada lumayan tinggi, “Dia seperti itu, berusaha menyembunyikan bakatnya karena kita La. Aku tahu aku tidak memiliki bakat yang menonjol sepertinya. Tapi seharusnya dia tak perlu bersikap seperti itu...” Nana menunduk, dari suaranya aku tahu kalau dia menangis.

“Aku ingin dia merubah sikapnya. Aku ingin dia kursus piano untuk mengasah bakatnya sehingga kelak dia akan sukses. Aku tak ingin dia terus berpikir bahwa kita iri dan akan menjauhinya. Aku pun tak ingin persahabatan ini putus.” Lanjut Nana, sekarang sudah terlihat jelas bahwa dia menangis.

Mendengar ucapan Nana, aku pun teringat pembicaraan Vita dengan ibunya tempo hari. Vita bersikeras menolak saran ibunya untuk kursus piano. Vita menangis saat itu dan dia mengatakan tidak ingin meneruskan bermain piano karena ia akan dijauhi oleh teman-temannya seperti dulu. Saat itu, aku dan Nana hanya mengintip dari balik pintu tapi cukup jelas terdengar di telnga kami pembicaraan mereka. 

Seusai mendengar percakapan Vita dan Ibunya, aku menanggapinya dengan berfikir bahwa semua itu terserah pada pilihan Vita, dan akupun segera melupakan semua itu. Namun Nana menanggapinya secara serius. Dan sekarang aku mengerti betul bagaimana perasaan Nana, aku pun memeluknya.

“Ohh Nana... maaf karena aku tak menyadarinya. Aku akan membantumu.” Ucapku.

“Tidak perlu!!” tiba-tiba terdengar suara dan Vita muncul di depan pintu dengan mata yang basah karena air mata.

“Tidak perlu La, aku sudah tahu. Maafkan aku Na,” ucap Vita seraya mendekat dan memeluk kami. “Aku bertindak bodoh dengan menolak dan berusaha berhenti dengan bakat yang ku miliki. Aku hanya tak ingin kalian menjauh dan menghindariku. Aku janji.. aku tak akan melakukannya lagi. Aku pun takkan membandingkan kalian dengan mereka yang dahulu.” 

“Iya Vita, maafkan aku pula.” Jawab Nana.

“Baguslah... kalau begitu kita masih menjadi sahabat bukan?” tanyaku untuk memastikan.

“Tentu saja,” jawab mereka bersamaan.

Kami pun tertawa bersama meski air mata masih sedikit membasahi pipi. Namun air mata kami kini berubah menjadi air mata bahagia. Iya... air mata bahagia, karena kami bertiga mampu menyelesaikan permasalahan dan tetap menjadi sahabat. Dari setiap kejadian kami yakin akan adda pelajaran yang berarti. Dan permasalahan ini ku yakini akan semakin menguatkan tali persahabatan ku, Vita, dan Nana. 
***

Tak Saling Mengerti
Karya Nungki Dwi Muflikhah, XI IPS 4, SMA N 1 Kota Mungkid (dengan sedikit perubahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi

INTUISI Karya Anggun Fitria Anindhi Deretan lampu benderang Menerangi sejengkal langkah tak goyah Bukan puncak namun perjalanan ...